Jembatan Sidowayah di Alas Mantingan

Kejadian ini bermula ketika saya baru pertama kali punya SIM. Medio Juli tahun 1996.
Saya senang sekali bisa punya SIM sendiri, itu berarti saya bisa kemana-mana tanpa harus ditemani Bapak.
Maklum, Bapak termasuk orang yang sangat ketat dalam urusan peraturan, apalagi peraturan lalu lintas.

Sore itu saya disuruh Bapak pergi ke desa nenek untuk sebuah urusan keluarga. Dusun Pehnongko terletak di Desa Gentong Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi Jawa Timur.
Saya, dengan sangat gembira bisa memanfaatkan SIM baru itu, segera saja mengiyakan perintah Bapak.
Saya ajak dua adik saya, Fatih dan Taqien, untuk menemani. Mereka berdua juga terlihat sangat gembira, maklum bisa jalan-jalan sendiri tanpa harus diawasin Bapak yang terkenal, yah bisa dibilang, galak.
Sengaja kami berangkat setelah Maghrib. Karena Bapak memberi perintah baru sekitar jam limaan.
Pikir kami, daripada nanti mampir-mampir di jalan, mendingan sekalian saja sholat terlebih dahulu di rumah. Biar tenang gitu.

Setelah sholat maghrib, kami berangkat.
Bapak dan Ibu memberi pesan, “Hati-hati ya, SIM kamu masih baru, jangan ngebut, santai saja. Paling nanti sampe sana jam setengah sembilan. Do’a dulu, jangan lupa! Sungkem buat Mbah Putri, buat Bu Nik sama Budhe Jen ya !”
“Nggih !”, kami menjawab serempak. Terlihat rona sumringah di wajah kami bertiga.
“Asyiiiik, kita bisa jalan-jalan sendiri nih tanpa dicerewetin Bapak Ibu. he he he”, kata Fatih si bungsu.
“Iya nih, pengalaman pertama kita jalan sendiri”, sahut si Taqien.
Saya pun tersenyum penuh kegembiraan.

Saya teringat cerita-cerita orang, bahwa kalau jalan di malam hari sering menemui hal-hal yang kurang masuk akal.
Untuk mengantisipasi hal itu, saya tak lupa menggumamkan do’a perjalanan, yang memang sudah saya hapal dari kecil.
Saya hidupkan mesin mobil Colt T120 tahun 1977 itu. Walaupun mobil tua, tapi tetep rueng rueng (pinjem istilah Basuki di sebuah iklan – red).
Mobil berjalan mulus tanpa hambatan.

Singkat cerita, kami sampai di Pehnongko sekitar jam delapan malam. Padahal perkiraan baru sampai sekitar jam setengah sembilan.
“Wah, cepet nih nyampenya!” pikir saya.
Maklum, SIM baru, jadi lupa pesan Bapak Ibu di rumah. Lumayan belagu juga tadi di jalanan.
Tapi jadi agak terasa capai juga, sok-sokan sih.

Ketemu Mbah Putri, kami menyampaikan pesan Bapak Ibu.
Kami disuruh Mbah untuk makan. Kami bertiga makan dengan lahap. Maklum tadi kelaparan di jalan. Soalnya Adik-adik saya tidak mau diajak mampir dulu.

Sebenarnya, Mbah Putri menyuruh kami untuk menginap dulu.
“Cah, ini sudah malam. Mendingan kalian bertiga nginep aja dulu. Besok pagi-pagi baru pulang. Paling Bapak Ibu kalian maklum”, begitu kata Mbah Putri.
Entah saya yang sok-sokan atau adik-adik saya itu, kami memilih untuk langsung pulang saja.
“Mas, langsung pulang aja deh, kan asyik jalan malem-malem lewat alas Mantingan. Pasti nanti sepi, ngga ada mobil lain. Bisa ngebut ! he he he”, bisik si Fatih.
“Iya Mas, sekalian ngetes mobil !”, tambah si Taqien, ambil tersenyum penuh arti.
Saya merasa tertantang, jiwa muda saya bergolak.
Jam di dinding waktu itu menunjukkan pukul sebelas malam.
“Kami pulang sekarang aja deh Mbah Putri”, ijin saya kepada Mbah Putri.
“Ya sudah kalau mau kalian begitu, tapi hati-hati lho. Soalnya kan sudah malam. Oh iya, kalau kalian nanti lewat jembatan Sidowayah di alas Mantingan, yang pas turunan terus belok itu, jangan lupa lempar recehan lima puluhan”, pesan Mbah Putri.
“Nggih Mbah”, sambil lalu saja saya mengiyakan pesan Mbah Putri.
“Iya. Soalnya di jembatan itu kan dua tahun lalu pernah ada kecelakaan bis. Penumpangnya mati semua”, imbuh Budhe Jen.
“Sekarang serem lho di situ”, Bu Nik menambahkan.
“Ah, masa sih?”, pikirku.

“Hati-hati ! Jangan lupa baca do’a dulu!” teriak Mbah Putri ketika saya menghidupkan mesin mobil.
“Nggih Mbah !”, serempak lagi kami menjawab.
“Kalau udah tua, kok pada cerewet ya?”, begitu kata si Fatih.
Kami bertiga lalu tertawa.
Mbah Putri, ditemani Bu Nik dan Budhe Jen melambaikan tangannya, kami balas lambaiannya sambil berteriak,
“Assalamu ‘alaikum!”
“Wa ‘alaikum salam!”, balas Mbah Putri, Bu Nik dan Budhe Jen.
Kami pun pulang.

Sambil konsentrasi menyetir, saya melirik jam tangan Fatih. Jarum menunjukkan pukul dua belas malam.
“Wah pas sekali jam dua belas nyampe alas Mantingan”, gumam saya.
Sementara Fatih dan Taqien terus saja bercanda.
Kira-kira lima menit kemudian, terlihat jembatan yang disebutkan Mbah Putri tadi.
Tiba-tiba saya jadi teringat pesan Mbah Putri, padahal tadinya saya hanya berpikir bahwa pesan tadi cuma ungkapan kekhawatiran seorang Mbah kepada cucunya.
Pikiran saya tergelitik, bimbang, antara percaya terhadap tahayul dengan keinginan untuk mengikuti pesan Mbah Putri.
Saya tanya Taqien yang duduk di belakang.
“Qien, kamu punya lima puluhan ngga?”
Taqien merogoh semua saku celananya, kemudian menjawab
“Wah mas, aku ora duwe ki” (wah mas, aku ngga punya tuh – red)
“Kowe duwe ora Tih?” (Kamu punya ngga Tih? – red)
Fatih mencari-cari, sementara saya juga mulai kebingungan mencari recehan lima puluhan.
“Kalo lima puluhan, saya ngga punya mas, tapi kalo seratusan, ada nih” begitu jawab Fatih.
“Kamu inget ngga, pesan Mbah Putri tadi?” tanyaku kepada mereka.
“Inget, mas”, jawab Taqien.
“Ya sudah, kalau begitu, kita lempar aja seratusan ini, wong lima puluhannya ngga ada.” kata saya.
Ketika persis sampai jembatan itu, saya suruh Fatih yang duduk di depan untuk melemparkan uang seratusan tadi ke jembatan.
Kemudian kami pun berlalu dari jembatan, yang katanya, angker itu.

Kurang dari satu menit kami melewati jembatan, dari balik spion melintas sebuah bayangan hitam yang muncul dari bawah jembatan.
Antara percaya dan tidak percaya, saya kucek mata saya.
Bayangan itu mulai terbang, kira-kira sebatas pertengahan pohon jati yang memang banyak terdapat di alas Mantingan ini.
Saya berkata kepada Fatih dan Taqien
“Cah, liat deh ke belakang!”
“Wah! apaan tuh?” teriak mereka berbarengan.
“Jangan-jangan gara-gara kita ngga ngelempar lima puluhan !” teriak Fatih.
Bayangan itu mulai mendekat.
Tanpa pikir panjang, saya injak pedal gas lebih dalam. Saya tak peduli lagi dengan keadaan jalan. Yang penting selamet, pikir saya.
“Mas !!!!! Tambah Gaaaaasssss !!!!!!” Fatih berteriak lagi.
Rupanya bayangan hitam itu lebih cepat daripada mobil kami. Padahal saya sudah berusaha semaksimal mungkin.
“Waaaaaaaa !!!!!” Fatih berteriak kencang.
“Di sebelaaaaaaahhh kuuuuuuuu !!!!!!” teriaknya lagi.
Kami bertiga mulai pucat.

Sejurus kemudian, bayangan hitam itu mengulurkan tangannya ke jendela mobil tempat duduk Fatih, sambil berkata dengan suaranya yang berat,
“Mas, ini kembaliannya !”

he he he
don’t take it too serious, guys !

14 Tanggapan

  1. wakakakkaa.. 😀

  2. .he he he .emang bener mbak jembatan itu.salam kenal dari cah ngawi

  3. hai salam kenal dari gue
    cah AE
    gw dl alumni gamaliel1
    buat lu2 yg mau kasih gw gambar / video 3gp tak tggu di email gw
    di dr_kabel@yahoo.co.id
    maaf tdk terima sumbangan berupa apapoen tanpa ijin bapak gue….

  4. dasar wong gendheng ………

  5. hai mas aku wong pehnongko, opo bu jen kuwi maksud’e ibu’e mas widi,sebelah’e pak farid, dadi sampeyan keluarga bu Nario ya?” oh yoo…. saya ada saran kalo ke pehnongko itu belum lengkap tanpa mampir di warungnya Mbah Duryat……

  6. waduh2.. ta’ kirain beneran.. Cape’ deeeeech…..
    ya tapi biasakalah meng’klakson di daerah yg kiranya asing buat kita.. Wass..

  7. bruakakaka….. wedew….. tak kiro bayangan hitam yang itu tuh……… xixixixixixi……

    ternyata oh ternyata…. bsa ngasih kembalian….

    ^_^

  8. wah ramutu tenan, tiwas tak woco tenanan je…. asemik

  9. Wadaw,…

    Tnyata ju2r jg y… Pke ngasi kembalian

  10. apri koclok …!

  11. dasar…tak kiro mau apaan gitu, ternyata ngocol juga, tiwas aku mrinding beneran . soale nek ga kleru daerah kono kui emang terkenal agker se.. ditunggu certa selanjutnya ya

  12. yach….kirain serius ujung2nya jd ktawa ngakak…..ha…ha…..

  13. apik…apik….tiwas di woco bak’e ngambusss…. salam ko danukusuman

Tinggalkan Balasan ke Yoko Batalkan balasan